Tafsir Isyari sering disebut juga tafsir sufi, yaitu tafsir al-Qur’an yang dalam kitab tafsirnya banyak difokuskan kepada bidang tasawuf atau kebatinan. Memahami ayat-ayat al-Qur’an diperoleh dari makna-makna yang tersirat atau makna yang diisyaratkan (Ahmad Syadali, 2000: 68).
Muhammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an terj. Aminuddin mendefinisikan Tafsir al-Isyari sebagai: “Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah) dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an (Ash-shabuny, 1999: 134)”.
Sedangkan menurut Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Sufi Isy’ari adalah penta’wilan ayat-ayat al-Qur’an al-Karim dengan penta’wilan yang menyalahi ketentuan-ketentuan dhahir ayat, karena ingin mengemukakan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak oleh mufassir penganut sufi tersebut setelah melakukan beragai bentuk Riyadhah keruhanian dengan Allah SWT (Basuni Faudah, 1977: 249).
Tafsir sufi Isy’ari dibina atas dasar Riyadhah-Keruhanian yang telah ditetapkan oleh sang mufassir sufi bagi dirinya sendiri, yang dengannya ia sampai kepada suatu keadaan yang bisa menerima isyarat-isyarat dan kelimpahan-kelimpahan Ilahi.
Setiap ayat mempunyai makna dhahir dan makna batin. Yang dhahir ialah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum yang lain, sedangkan yang batin ialah isyarat-isyarat tersembunyi dibalik itu yang hanya nampak bagi ahli suluk.
Tafsir Isyari ini jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan Istinbat yang baik dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh dhahir bahasa arab serta didukung oleh bukti keshahihannya, tanpa pertentangan, maka ia dapat diterima (Khalil al-Qattan, 1973: 495).
Sejarah Munculnya Dan Metodologi Tafsir Isyari
Apakah Tafsir Sufi Isyari itu memiliki dasar-dasar Syar’i? Ataukah ia muncul sesudah munculnya para penganut sufi dengan istilah-istilah dan prinsip-prinsip mereka itu sendiri?
Menurut Mahmud Basuni Faudah (1977:250) bahwa tafsir Sufi Isyari itu lahir pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat yang mulia. Al-Qur’an telah mengisyaratkan kepadanya dengan firman Allah: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (Q.S an-Nisa’: 82)
Sunnah juga telah mengisyaratkan dari riwayat al-Hasan, sebagai hadis mursal dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata: “ setiap ayat ada makna dhahir dan makna batinnya. Bagi setia huruf ada hadnya, dan bagi setiap had ada mathla’nya”, dikutip dari para sahabat Rasulullah saw, atsar yang menunjukkan bahwa mereka itu mengenal tafsir Isyari.
“Ibnu Hatim mengeluarkan dari jalur adh-Dhahhak, dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau berkata: sesungguhnya al-Qur’an itu memiliki cabang-cabang ilmu-ilmu, bagian-bagian yang dhahir dan yang batin. Keajaibannya tidak akan pernah habis dan sasarannya tak akan pernah dicapai secara tuntas, maka barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan lemah lembut, niscaya selamat, tapi barang siapa yang memperlakukannya dengan kekerasan, pasti celaka.
Sejarah Munculnya Dan Metodologi Tafsir Isyari
Apakah Tafsir Sufi Isyari itu memiliki dasar-dasar Syar’i? Ataukah ia muncul sesudah munculnya para penganut sufi dengan istilah-istilah dan prinsip-prinsip mereka itu sendiri?
Menurut Mahmud Basuni Faudah (1977:250) bahwa tafsir Sufi Isyari itu lahir pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat yang mulia. Al-Qur’an telah mengisyaratkan kepadanya dengan firman Allah: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (Q.S an-Nisa’: 82)
Sunnah juga telah mengisyaratkan dari riwayat al-Hasan, sebagai hadis mursal dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata: “ setiap ayat ada makna dhahir dan makna batinnya. Bagi setia huruf ada hadnya, dan bagi setiap had ada mathla’nya”, dikutip dari para sahabat Rasulullah saw, atsar yang menunjukkan bahwa mereka itu mengenal tafsir Isyari.
“Ibnu Hatim mengeluarkan dari jalur adh-Dhahhak, dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau berkata: sesungguhnya al-Qur’an itu memiliki cabang-cabang ilmu-ilmu, bagian-bagian yang dhahir dan yang batin. Keajaibannya tidak akan pernah habis dan sasarannya tak akan pernah dicapai secara tuntas, maka barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan lemah lembut, niscaya selamat, tapi barang siapa yang memperlakukannya dengan kekerasan, pasti celaka.
Didalamnya terdapat berita-berita, tamsil-tamsil, penjelasan mengenai yang halal dan yang haram, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabih, zahir dan batin. Dhahirnya adalah tilawah (bacaan) sedangkan bathinnya ialah ta’wil. Orang-orang yang berilmu sama menekuninya, sedangkan orang-orang yang bodoh mengesampingkannya.”
Berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, kita menjadi tahubahwa al-Qur’an mempunyai kandungan lahir dan kandungan batin. Yang dimaksud dengan kandungan lahir adalah apa yang bisa dipahami berdasarkan aturan bahasa arab semata-mata.
Berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, kita menjadi tahubahwa al-Qur’an mempunyai kandungan lahir dan kandungan batin. Yang dimaksud dengan kandungan lahir adalah apa yang bisa dipahami berdasarkan aturan bahasa arab semata-mata.
Adapun kandungan batinnya adalah apa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dan tujuan yang diarah-Nya dibalik lafad-lafad dan susunan kalimat ayat-ayat. Maka arti-arti menurut bahasa Arab, yang menjadi landasan pemahaman al-Qur’an adalah termasuk dalam kandungan al-Qur’an yang bersifat Dhahir.
Adapun makna bathinnya, maka orang tidak cukup hanya dengan menelusuri pemahaman bahasa arabnya saja, tetapi tidak boleh tidak, mesti ada nur / cahaya yang dipancarkan oleh Allah Ta’ala ke dalam hati manusia, yang karenanya manusia menjadi mampu memandang dengan jernih dan menalar dengan sehat (Basuni Faudah, 1977:252).
Tafsir Isyari mendasari metodologinya dengan berawal dari pemahaman bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua makna, yaitu makna zhahir dan makna batin. Maksud dari zhahir menurut mereka adalah makna yang langsung bisa diterima oleh akal manusia sebelum yang lainnya. Sedangkan makna batin adalah makna yang tersembunyi dari tanda-tanda ataupun isyarat-isyarat yang tampak oleh para pelaku suluk.
Sebagian kalangan sufi memahami bahwa makna batin tidak dapat diketahui melainkan dengan cara riyâdhah rûhaniyyah (semacam amalan olah jiwa). Berawal dari eksperimen jiwa inilah seorang sufi bisa mencapai derajat kasyf (terbukanya tabir rahasia) yang dengannya isyarat-isyarat suci dari balik untaian ayat-ayat al-Qur’an dapat dicapai.
Hanya saja, orang banyak berbeda pendapat dalam memahami makna bathin al-Qur’an itu, kaum bathiniyah, misalnya, mengakui adanya makna bathin terhadap al-Qur’an tersebut, tetapi mereka menafsirkan makna bathin al-Qur’an tersebut menurut angan-angan mereka sendiri yang rusak dan sama sekali mengingkari makna dhahirnya (Basuni Faudah, 1977:252).
Syarat-syarat diterimanya Tafsir Isyari
Para ulama memberikan batasan-batasan berupa kesepakatan tentang adanya persyaratan bagi diterimanya tafsir ishari (Basuni Faudah, 1977:255). Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Keempat persyaratan di atas merupakan kunci kesejajaran tafsir ishari dengan tafsir-tafsir tekstual lainnya. Bagi para ulama, meniadakan salah satu unsur di atas menyebabkan tafsir ishari tertolak dan menafikan kelayakkannya.
Pendapat Para Ulama’ Tentang Tafsir Isyari
Para ulama berbeda pendapat mengenai eksistensi tafsir isyari. Sebagian mereka ada yang membolehkan, sementara yang lain menghujatnya. Ada yang mengatakan termasuk dari kesempurnaan iman dan kedalaman ilmu. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yakni menganggap sesat dan menyimpang dari ajaran syari’at bagi siapa saja yang mengikutinya. Berikut akan dikemukakan beberapa tanggapan para ulama tersebut.
Al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan, sebagaimana yang dituturkan Hasbi (1993: 250), menyatakan bahwa perkataan ulama sufi dalam menafsirkan al-Qur’an sebenarnya bukanlah termasuk kategori tafsir. Semua itu hanyalah perasaan dan khayalan mereka belaka ketika membaca al-Qur’an.
Tafsir Isyari mendasari metodologinya dengan berawal dari pemahaman bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua makna, yaitu makna zhahir dan makna batin. Maksud dari zhahir menurut mereka adalah makna yang langsung bisa diterima oleh akal manusia sebelum yang lainnya. Sedangkan makna batin adalah makna yang tersembunyi dari tanda-tanda ataupun isyarat-isyarat yang tampak oleh para pelaku suluk.
Sebagian kalangan sufi memahami bahwa makna batin tidak dapat diketahui melainkan dengan cara riyâdhah rûhaniyyah (semacam amalan olah jiwa). Berawal dari eksperimen jiwa inilah seorang sufi bisa mencapai derajat kasyf (terbukanya tabir rahasia) yang dengannya isyarat-isyarat suci dari balik untaian ayat-ayat al-Qur’an dapat dicapai.
Hanya saja, orang banyak berbeda pendapat dalam memahami makna bathin al-Qur’an itu, kaum bathiniyah, misalnya, mengakui adanya makna bathin terhadap al-Qur’an tersebut, tetapi mereka menafsirkan makna bathin al-Qur’an tersebut menurut angan-angan mereka sendiri yang rusak dan sama sekali mengingkari makna dhahirnya (Basuni Faudah, 1977:252).
Syarat-syarat diterimanya Tafsir Isyari
Para ulama memberikan batasan-batasan berupa kesepakatan tentang adanya persyaratan bagi diterimanya tafsir ishari (Basuni Faudah, 1977:255). Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
- Tidak boleh bertentangan dengan makna dhahir dari susunan kalimat ayat-ayat al-Qur’an.
- Harus didukung oleh kesaksian syara’ yang menguatkannya.
- Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
- Tidak mengandung penyelewengan-penyelewengan dari susunan kalimat lafad-lafad al-Qur’an.
Pendapat Para Ulama’ Tentang Tafsir Isyari
Para ulama berbeda pendapat mengenai eksistensi tafsir isyari. Sebagian mereka ada yang membolehkan, sementara yang lain menghujatnya. Ada yang mengatakan termasuk dari kesempurnaan iman dan kedalaman ilmu. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yakni menganggap sesat dan menyimpang dari ajaran syari’at bagi siapa saja yang mengikutinya. Berikut akan dikemukakan beberapa tanggapan para ulama tersebut.
Al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan, sebagaimana yang dituturkan Hasbi (1993: 250), menyatakan bahwa perkataan ulama sufi dalam menafsirkan al-Qur’an sebenarnya bukanlah termasuk kategori tafsir. Semua itu hanyalah perasaan dan khayalan mereka belaka ketika membaca al-Qur’an.
Seperti dalam kasus penafsiran Q.S. Al-Taubah ayat 123 tentang memerangi orang kafir di sekitar kita, yang kemudian ditafsirkan dengan membunuh atau memusnahkan nafsu yang memang berada pada diri setiap manusia.
Ibnu Shalah dalam fatwanya berkata ketika ditanya tentang ucapan-ucapan kaum sufi mengenai al-Qur’an, “Saya mendapatkan informasi dari imam Abu Hasan al-Wahidi, seorang mufassir, berkata, “Imam Abû ‘Abdurrahman al-Sulami telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Haqâiq al-Tafsîr. Jika ada yang berkeyakinan bahwa itu adalah kitab tafsir, maka sungguh ia telah kafir" (Hasbi al-Shiddiqy, 1993: 250). Demikianlah, Ibnu Shalah mengaharamkan penafsiran model ini, bahkan menggolongkan kafir bagi yang mengikuti atau bahkan sekedar memberi dukungan saja.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bisa menjadi pegangan selama memenuhi empat syarat tidak bertentangan dengan makna (lahir) ayat makna yang dimaksud ada dan termuat dalam teks ayat yang ditafsirkan ada pemberitahuan isyarah atau indicator dalam lafal a-Qur’an (untuk menggunakan pengertian yang bersifat implicit) serta antara penafsiran dan makna ayat terdapat jalinan hubungan yang mengikat (istimbath al-talazumi (Basuni Faudah, 1977: 254).
Akan tetapi Ibnu ‘Arabi menganggap bahwa ucapan-ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tafsir yang hakiki bagi makna-makna al-Qur’an. Tafsir mereka itu bukanlah sekedar perbandingan makna-makna tersebut.
Ibnu Shalah dalam fatwanya berkata ketika ditanya tentang ucapan-ucapan kaum sufi mengenai al-Qur’an, “Saya mendapatkan informasi dari imam Abu Hasan al-Wahidi, seorang mufassir, berkata, “Imam Abû ‘Abdurrahman al-Sulami telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Haqâiq al-Tafsîr. Jika ada yang berkeyakinan bahwa itu adalah kitab tafsir, maka sungguh ia telah kafir" (Hasbi al-Shiddiqy, 1993: 250). Demikianlah, Ibnu Shalah mengaharamkan penafsiran model ini, bahkan menggolongkan kafir bagi yang mengikuti atau bahkan sekedar memberi dukungan saja.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bisa menjadi pegangan selama memenuhi empat syarat tidak bertentangan dengan makna (lahir) ayat makna yang dimaksud ada dan termuat dalam teks ayat yang ditafsirkan ada pemberitahuan isyarah atau indicator dalam lafal a-Qur’an (untuk menggunakan pengertian yang bersifat implicit) serta antara penafsiran dan makna ayat terdapat jalinan hubungan yang mengikat (istimbath al-talazumi (Basuni Faudah, 1977: 254).
Akan tetapi Ibnu ‘Arabi menganggap bahwa ucapan-ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tafsir yang hakiki bagi makna-makna al-Qur’an. Tafsir mereka itu bukanlah sekedar perbandingan makna-makna tersebut.
Penamaan tafsir sufi itu sendiri - menurut ‘Arabi - sudah menunjukkan isyarat adanya sikap yang berlawanan dengan ulama zhahiri. Sikap ‘Arabi ini menunjukkan bahwa ia tidak mengingkari adanya kelimpahan dan isyarat-isyarat yang dianugerahkan Allah swt. kepada siapa saja yang dikehendakinya. Allah swt. akan memberikan kekhususan kepada sebagian hamba-hambaNya dengan sebagian rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahNya (Lihat Q.S. al-Baqarah ayat 269).
Demikianlah beberapa pandangan para ulama seputar pro-kontra keberadaan tafsir isyari. Dari keragaman pandangan tersebut dapatlah dipahami bahwa tidak semua pihak sepakat dengan model tafsir isyari. Yang menjadi persoalan adalah sulitnya merumuskan metodologi tafsir ini dalam konteks makro. Artinya, produk tafsir ini tidak memungkinkan dikonsumsi oleh orang-orang awam.
Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Isyari
Kehidupan ini sangat ditentukan oleh apa yang tidak tampak, yaitu perasaan, emosi, iman, sesuatu yang sangat tidak tersentuh oleh inderawi, dan sesuatu yang tidak bisa dilacak oleh alat-alat fisik. Yang sangat halus dan lembut dan justru memiliki efek yang sangat dahsyat.
Demikianlah beberapa pandangan para ulama seputar pro-kontra keberadaan tafsir isyari. Dari keragaman pandangan tersebut dapatlah dipahami bahwa tidak semua pihak sepakat dengan model tafsir isyari. Yang menjadi persoalan adalah sulitnya merumuskan metodologi tafsir ini dalam konteks makro. Artinya, produk tafsir ini tidak memungkinkan dikonsumsi oleh orang-orang awam.
Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Isyari
Kehidupan ini sangat ditentukan oleh apa yang tidak tampak, yaitu perasaan, emosi, iman, sesuatu yang sangat tidak tersentuh oleh inderawi, dan sesuatu yang tidak bisa dilacak oleh alat-alat fisik. Yang sangat halus dan lembut dan justru memiliki efek yang sangat dahsyat.
Adalah sangat mustahil al-Qur’an tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan batin yang diperoleh oleh seseorang yang selama hidupnya beribadah dengan ikhlas kepada Allah SWT. Pengetahuan yang bersifat batin, ilhami, intuitif, contemplatif memiliki tingkatan-tingkatan antara yang satu dengan yang lainnya.
Jika al-Qur’an hanya sekedar himpunan kata-kata yang kering dan tidak mengandung makna-makna batin maka tidak mungkin melahirkan inspirasi-inspirasi spiritual. Sayyid Qutub misalnya sekalipun dikenal sebagai pembela kelompok literalis pernah mengatakan bahwa kebahagiaan spiritual dan ilham sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan setiap manusia. Sementara itu, Tafsri isyari hadir memberikan makna yang dalam atau hakikat dari setiap symbol dan segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh inderawi.
Sementara itu, kelemahan Tafsir Isyari, menurut Penulis, ialah produk Tafsir ini tidak memungkinkan untuk dikonsumsi bagi orang-orang awam. Selain itu, dalam tafsir isyari kita dihadapkan kepada tafsir yang tidak saja mengemukakan makna lafad-lafad, sebagaimana yang dikehendaki lafad, tetapi kita juga menghadapi makna yang dikehendaki isyarat.
Jika al-Qur’an hanya sekedar himpunan kata-kata yang kering dan tidak mengandung makna-makna batin maka tidak mungkin melahirkan inspirasi-inspirasi spiritual. Sayyid Qutub misalnya sekalipun dikenal sebagai pembela kelompok literalis pernah mengatakan bahwa kebahagiaan spiritual dan ilham sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan setiap manusia. Sementara itu, Tafsri isyari hadir memberikan makna yang dalam atau hakikat dari setiap symbol dan segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh inderawi.
Sementara itu, kelemahan Tafsir Isyari, menurut Penulis, ialah produk Tafsir ini tidak memungkinkan untuk dikonsumsi bagi orang-orang awam. Selain itu, dalam tafsir isyari kita dihadapkan kepada tafsir yang tidak saja mengemukakan makna lafad-lafad, sebagaimana yang dikehendaki lafad, tetapi kita juga menghadapi makna yang dikehendaki isyarat.
Hal ini merupakan bahaya jika kita tidak menelitinya, sebab dikhawatirkan bahwa orang yang membaca tafsir ini akan menganggap bahwa makna itulah makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Oleh sebab itu kita harus waspada terhadap penafsiran-penafsiran dengan cara isyari ini, agar kita mengetahui yang sesuai dengan ajaran Islam dan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Tafsir isyari adalah salah satu jenis tafsir yang dalam memberikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an kental dengan takwil, aspek-aspek esoteric dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam teks ayat-ayat al-Qur’an. Terlepas dari kontroversi yang terjadi dalam mengomentari jenis tafsir ini, yang jelas tafsri isyari adalah merupakan bentuk kontribusi dari ulama dalam memperkaya pembendaharaan litelatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang makna al-Qur’an. Ala kulli hal tafsir isyari telah memberi warna yang khas dalam diskursus tafsir dai masa ke masa.
Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling untuk dikembangkan, tafsir isyari pun berkemungkinan bagi upaya pengembangannya untuk masa kini dan masa mendatang. Tentu saja, perhatikan terhadap rambu-rambu penafsiran supaya termasuk tafsir isyari al-maqbul bukan tafsir isyari al-mardud.
Kesimpulan
Tafsir isyari adalah salah satu jenis tafsir yang dalam memberikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an kental dengan takwil, aspek-aspek esoteric dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam teks ayat-ayat al-Qur’an. Terlepas dari kontroversi yang terjadi dalam mengomentari jenis tafsir ini, yang jelas tafsri isyari adalah merupakan bentuk kontribusi dari ulama dalam memperkaya pembendaharaan litelatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang makna al-Qur’an. Ala kulli hal tafsir isyari telah memberi warna yang khas dalam diskursus tafsir dai masa ke masa.
Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling untuk dikembangkan, tafsir isyari pun berkemungkinan bagi upaya pengembangannya untuk masa kini dan masa mendatang. Tentu saja, perhatikan terhadap rambu-rambu penafsiran supaya termasuk tafsir isyari al-maqbul bukan tafsir isyari al-mardud.
Berbeda dengan tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi ar-ra’yi yang kebenaran (termasuk pengembangannya) relative mudah untuk diukur penerapan kriteria kebenaran tafsir isyari sangatlah sulit. Ini terjadi karena sumbernya lebih mengandalkan hati atau intuisi yang juga sangat sulit untuk dibedakan dari kemungkinan terkontaminasi dengan hawa nafsu yang keliru.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
- Ahmad Syadali. 2000. Ulumul Qur’an II. Cet. II. Bandung : Cv. Pustaka Setia
- Ahmad Izzan. 2011. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Takafur
- Mahmud Basuni Faudah. 1977. Tafsir-tafsir al-Qur’an; perkenalan dengan metodologi tafsir. Terj. H.M Mochtar Zoeni, dari judul asli: At-Tafsir wa Manahijuh. Bandung: PUSTAKA
- Manna Khalil al-Qattan. 1973. Studi ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
- M. Hasbi al-Shiddiqy.1993. Ilmu-ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an. Cet.III. Jakarta: Bulan Bintang